Yang bukan Pembatal Puasa (bagian 01)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Beberapa hal lainnya yang dianggap masyarakat sebagai
pembatal puasa
yang layak dikritisi adalah
- Menangis
- Berkumur
- Menelan ludah
- Membersihkan lubang telinga
- Keluar darah (Bekam)
InsyaaAllah pada kesempatan ini, akan kita bahas masing-masing,
Pertama, menangis
Kami tidak menjumpai satupun dalil yang menunjukkan bahwa nangis bisa
membatalkan puasa. Baik dalil yang menunjukkan makna tegas maupun
isyarat. Terlebih, nangis tidak identik dengan menelan air mata,
sehingga tidak bisa dihukumi sama dengan minum.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah pernah ditanya, apakah air mata yang
keluar ketika memotong dan merajang bawang bisa membatalkan puasa?
Jawaban Tim Fatawa Syabakah Islamiyah,
فالدموع النازلة بسبب تقطيع البصل وشم رائحته لا تبطل الصيام
“Air mata yang keluar karena memotong bawang atau disebabkan aroma bawang, tidak membatalkan puasa.” (
Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 106644)
Kedua, berkumur
Apakah berkumur bisa membatalkan puasa?
Kita sepakat bahwa yang menjadi permbatal puasa adalah makan, minum
atau yang semakna dengannya. Dan kita juga sepakat, berkumur tidak
termasuk makan atau minum. Karena itu, berkumur bukan pembatal.
Lebih dari itu, terdapat dalil sangat tegas yang menunjukkan bahwa
berkumur tidak membatalkan puasa. Hadis dari Umar bin Khatab
radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: صَنَعْتُ
الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا، قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ
بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟ ” قُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَفِيمَ؟
Suatu hari, syahwatku naik hingga aku mencium istri, padahal aku
sedang puasa. Akupun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
katakan: ‘Hari ini aku melakukan perkara besar. Aku mencium istriku
padahal aku sedang puasa.’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Apa pendapatmu jika kamu berkumur dengan menggunakan air
ketika kamu sedang puasa?’ ‘Boleh saja, tidak masalah.’ Jawab Umar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menimpali, ‘Lalu mengapa
bingung?’ (HR. Ahmad 138, Ibnu Khuzaimah 1999, dan sanadnya dinilai
shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
Maksud Hadis
Mencium ketika puasa, selama tidak sampai keluar mani, tidak
membatalkan puasa. Sebagaimana orang berkumur dengan air ketika puasa,
selama tidak menelan air dengan sengaja, puasanya tidak batal.
Ini menunjukkan para sahabat sangat memahami bahwa berkumur tidak
memberikan pengaruh terhadap puasa seseorang. Karena itulah, Ibnu
Qudamah menegaskan, ulama sepakat, berkumur tidak membatalkan puasa.
Beliau mengatakan,
ولا يفطر بالمضمضة بغير خلاف، سواء كان في الطهارة أو غيرها
“Berkumur tidak membatalkan puasa tanpa ada perselisihan, baik ketika wudhu maupun di luar wudhu.” (Al-Mughni, 3/123).
Ketiga, menelan ludah
Ibnu Qudamah memberikan rincian tentang masalah ini,
وما لا يمكن التحرز منه، كابتلاع الريق لا يفطره، لأن اتقاء ذلك يشق، فأشبه غبار الطريق، وغربلة الدقيق
Sesuatu yang tidak mungkin dihindari ketika puasa, seperti menelan
ludah, tidak membatalkan puasa. Karena menghindari semacam ini sangat
memberatkan. Kasusnya sebagaimana debu jalanan atau tebaran tepung.
Kemudian Ibnu Qudamah melanjutkan,
فإن خرج ريقه إلى ثوبه، أو بين أصابعه، أو بين شفتيه، ثم
عاد فابتلعه، أو بلع ريق غيره، أفطر؛ لأنه ابتلعه من غير فمه، فأشبه ما لو
بلع غيره
Jika ludah itu telah keluar ke bajunya atau diletakkan diantara
jarinya atau berada di antara bibirnya, kemudian kembali dia telan, atau
dia menelan ludah orang lain, maka puasanya batal. Karena berarti dia
menelan ludah selain dari mulutnya. Sehingga sama dengan ketika dia
menelan benda lainnya. (Al-Mughni: 3/122).
Hal senada juga disampaikan Sayyid Sabiq. ketika membahas tentang
hal-hal yang dibolehkan bagi orang yang berpuasa, beliau mengatakan:
وكذا يباح له ما لا يمكن الاحتراز عنه كبلع الريق وغبار الطريق، وغربلة الدقيق والنخالة ونحو ذلك.
“Demikian pula, dibolehkan untuk menelan benda-benda yang tidak
mungkin bisa dihindari. Seperti menelan ludah, debu-debu jalanan,
taburan tepung, atau dedak…” (Fiqh Sunnah, 1/462)
Keempat, membersihkan lubang telinga
Kami tidak tahu, dari mana masyarakat bisa menyimpulkan hal ini,
membersihkan lubang telinga atau korek-korek hidung bisa membatalkan
puasa. Jelas ini adalah salah paham yang akan sangat sulit dicari
pembenarannya. Jika alasannya adalah memasukkan satu benda ke badan, ini
tidak bisa diterima. Karena tidak semua bentuk memasukkan benda ke
badan bisa dihukumi makan atau minum.
Andaikan semua bentuk memasukkan benda ke badan bisa membatalkan
puasa, tentu berkumur bisa membatalkan puasa. Padahal di awal, telah
ditegaskan, berkumur tidak membatalkan puasa dengan sepakat sahabat dan
para ulama.
Kelima, keluar darah
Barangkali yang menjadi pendekatan di sini adalah hukum
bekam ketika puasa.
Apakah bekam ketika puasa membatalkan puasa ataukah tidak? Berangkat
dari kasus bekam, sebagian ulama memberikan hukum yang sama untuk semua
tindakan yang mengeluarkan darah, seperti sayatan, operasi ringan, dst.
Sebagian ulama berpendapat bahwa bekam bisa membatalkan puasa.
Berdasarkan hadis Syaddad dan Rafi bin Khadij, Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhum, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أفطر الحاجم والمحجوم
“Orang yang membekam dan yang dibekam, puasanya batal.” (HR. Abu Daud 2367, Turmudzi 774, Ibn Majah 1679, dan dishahihkan Al-Albani).
Diantara ulama yang mengambil pendapat ini adalah, Ibnul Mundzir,
Ibnu Khuzaimah, Al-Auza’i, Ad-Darimi, dan Ishaq bin Rahawih. Pendapat
ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam, dan Ibnul Qoyim.
Sementara jumhur (mayoritas ulama), hanafiyah, Malikiyah, dan
Syafiiyah, bekam tidak membatalkan puasa. Dan insyaaAllah, inilah
pendapat yang lebih kuat, berdasarkan beberapa dalil dan riwayat,
diantaranya,
1. Keterangan Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam ketika beliau ihrom dan ketika berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
2. Riwayat dari Tsabit Al-Bunani, beliau pernah bertanya kepada Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu,
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Apakah dulu kalian (para sahabat) tidak menyukai berbekam bagi
orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa
menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940).
3. Keterangan Abu Said Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rukhsoh
(keringanan) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan
berbekam.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1976, Ad-Daruquthni 2268, dan sanadnya
dinilai shahih oleh Al-Albani).
Keterangan Abu Said radhiyallahu ‘anhu, ‘Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi rukhshah’, menunjukkan bahwa sebelumnya bekam dilarang untuk
orang yang puasa. Karena namanya rukhshah, berarti ada laranngan yang
mendahuluinya. Sebagaimana keterangan Ibn Hazm dalam Al-Muhalla (4/337).
Karena itu, mengeluarkan darah dengan sengaja, sekalipun dalam jumlah
banyak, tidak membatalkan puasa, kecuali jika dikhawatirkan menyebabkan
badan lemes, hukumnya terlarang sebagaimana keterangan Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu.
Sementara luka yang mengeluarkan darah, para ulama menegaskan bahw itu tidak mempengaruhi keabsahan puasa seseorang sedikitpun.
Allahu a’lam