Minggu, 16 November 2014

Pesan Untuk Pasien - Penyakit Merupakan Nikmat dan Anugrah



               Penyakit Merupakan Nikmat dan Anugrah
           Melalui berbagai manfaat penyakit dan buahnya yang telah dikemukakan di atas jelaslah bahwa penyakit yang tengah Anda derita dan kepedihan yang kini Anda rasakan serta berbagai keletihan yang menggelisahkan itu merupakan nikmat dan anugrah dari Allah Ta’ala sebagai karunia dari Rabb Yang Maha Pemurah lagi Mahasuci bagi hamba-Nya yang fakir dan membutuhkan. Di antara kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah Dia memberikan ujian, sehingga dia memperoleh manfaat serta keuntungan yang tidak dapat diraih kecuali  dengan menjalankan ujian tersebut. Kalaulah bukan karena itu, Allah Yang Mahakuasa tidak butuh untuk mengazab hamba-Nya dan tidak perlu menyakiti hamba-Nya. Namun, hikmah dan kasih sayang Allah kepada hamba menuntut hal itu. Bagi Allah-lah segala puji yang banyak atas hikmah-Nya itu.
         
   Karena penyakit atau cobaan itu merupakan kenikmatan, maka orang-orang saleh terdahulu merasa gembira dengan penyakit atau cobaan yang menimpanya seperti halnya kita merasa gembira dengan mendapatkan kesejahteraan. Nabi saw, menceritakan ujian yang diberikan kepada para nabi dan orang saleh, yang berupa penyakit, kemiskinan, dan sebagainya, lalu beliau bersabda,
Adalah mereka itu bergenbira karena mendapkan cobaan sebagaimana kalian bergembira ketika mendapat kesejahteraan. [HR. Ibnu Majah]
          Wahab bin Munabbih –rahimahullah-  berkata, Jika orang-orang sebelum kalian ditimpa cobaan, mereka menganggapnya sebagai kesejahteraan. Jika ditimpa kesejahteraan, mereka menganggapnya sebagai cobaan.
          Seorang penyair berkata,
Betapa banyak kenikmatan yang tidak dapat diremehkan dengan disyukuri Demi Allah, di balik sesuatu yang dibenci itu terdapat kebaikan
           Seorang yang bijak berkata, “Kedengkian atas kesejahteraan orang lain akan membuahkan kecelakaan, belas kasihan kepada orang yang sakit akan membuahkan kesembuhan, dan iri atas nikmat orang lain akan membuahkan cobaan”.
           Seorang ulama salaf berkata, “Wahai anak Adan, nikmat Allah yang diberikan kepadamu yang menyangkut perkara yang kamu benci adalah lebih besar daripada nikmat yang dianugrahkan-Nya kepadamu yang menyangkut perkara yang kamu sukai”.
            Ulama lain mengatakan, “Ridlalah terhadap apapun yang dilakukan Allah kepadamu, karena tidaklah Dia menahan sesuatu darimu kecuali Dia akan memberikan sesuatu kepadamu, tidaklah Dia memberikan cobaan kepadamu melainkan untuk menghapus kesalahanmu, tidaklah Dia memberikan penyakit kepadamu melainkan Dia akan menyembuhkanmu, dan tidaklah Dia mematikanmu melainkan Dia akan menghidupkanmu. Berhati-hatilah jangan sampai Anda tidak ridla kepada Allah meskipun sekejap mata, sehingga Anda tercela dalam pandangan-Nya”.
              Sufyan Sauri –rahimahullah- berkata, “Tidaklah disebut ilmuan orang yang tidak menganggap ujian sebagai nikmat dan kesejahteraan sebagai ujian”.
Segala urusan itu terjadi menurut ketetapan Allah Di balik aneka peristiwa terdapat perkara yang disukai dan yang dibenci Mungkin apa yang dahulu aku cemaskan, kini menggembirakan dan apa yang dahulu aku dambakan, kini membawaku pada kejelekan.
                Ibnu Qayim -rahimahullah-  berkata, “Kalau saja seorang hamba itu tau bahwa nikmat Allah itu terdapat pula pada cobaan, tidak hanya pada kesejahteraan, niscaya dia memenuhi hati dan lidahnya dengan bersyukur”.
               Beliau juga mengatakan, “Rasa sakit, kepedihan, dan kesulitan itu merupakan nikmat yang paling besar karena hal tersebut merupakan penyebab datangnya nikmat. Maka kelezatan yang paling besar adalah buah dan hasil dari aneka kepedihan.”
               Sufyan Sauri -rahimahullah-  berkata, Penahanan Allah merupakan pemberian-Nya karena Dia menahan bukan karena kikir atau tidak ada, tetapi Dia melihat apa yang terbaik bagi hamba-Nya yang Mukmin, sehingga Dia menahan bagi kebaikan untuknya dan itulah yang terbaik baginya menurut Allah”.
                Setelah Ibnu Qayim -rahimahullah- menyuguhkan perkataan Sufyan Sauri, dia berkata, “Demikianlah seperti  dikatakan Sufyan, sebab Allah Ta’ala tidak menentukan suatu ketetapan bagi hamba-Nya yang beriman kecuali hal itu merupakan kebaikan baginya, baik ketetapan itu membuatnya sedih atau gembira. Ketetapan Allah bagi hamba-Nya yang beriman merupakan anugrah meskipun berbentuk penahanan dan merupakan kenikmatan meskipun berbentuk ujian. Cobaan-Nya merupakan kebaikan meskipun berbentuk malapetaka. Namun, karena kebodohan hamba dan kezalimannya, dia tidak menganggap anugerah, nikmat, dan kebaikan kecuali apa yang dirasakannya enak pada saat ini dan hal itu sesuai dengan tabi’atnya.
                  Kalaulah seorang hamba diberi ilmu yang luas, niscaya dia menganggap penahanan sebagai nikmat dan cobaan sebagai rahmat; niscaya dia merasa lebih nyaman dengan cobaan daripada dengan kesejahteraan; niscaya dia merasa lebih nyaman dengan kemiskinan daripada kekayaan; niscaya dia lebih banyak bersyukur ketika kondisinya berkekurangan daripada ketika dia berlebihan. Seperti itulah perilaku para ulama salaf. Orang yang berilmu lagi ridla adalah orang yang menganggap cobaan sebagai kesejahteraan, penahan sebagai kenikmatan, dan kemiskinan sebagai kekayaan. Orang yang ridla adalah orang yang menganggap bahwa nikmat Allah yang berkenan dengan apa yang dibencinya itu lebih banyak dan lebih besar daripada nikmat Allah yang terdapat pada sesuatu yang disukainya.
               Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, berkata, “Tidak ada kontradiksi antara suatu keadaan yang dianggap sebagai cobaan dilihat dari satu sisi, , tapi dianggap sebagai nikmat dari sisi yang lain. Kalau dilihat dari keadaannya yang menimbulkan sakit, hal itu disebut musibah, tetapi jika dilihat dari keberadaannya sebagai bentuk kasih saying, hal itu disebut nikmat. Hal ini seperti halnya orang sakit yang meminum obat yang tidak disukainya. Dia menganggapnya sebagai musibah karena obatnya pahit, tapi dianggap sebuah nikmat karena bisa menyembuhkan penyakit yang membahayakannya. Maka keburukan yang lebih ringan itulah nikmat yang paling besar.”
                Pada kesempatan lain, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika apa saja yang menimpa manusia membuat gembira itulah nikmat yang sesungguhnya, tapi jika membuat sedih, itu pun disebut nikmat karena bisa menghapus kesalahannya serta membuahkan pahala karena kesabarannya dan karena hal tersebut mengandung hikmah dan rahmat yang tidak diketahuinya. Allah Ta’ala berfirman, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui  [QS. Al-Baqarah,2:216].
Demi Allah, Allah tidak menentukan suatu ketetapan untuk seorang Mukmin kecuali hal itu baik baginya. Jika ditimpa kelapangan, dia bersyukur, itu merupakan kebaikan baginya, tapi jika ditimpa kesempitan, lalu dia sabar, itupun merupakan kebaikan baginya. [HR. Muslim].
                  Ibnu Qayim –rahimahullah- berkata, “Diantara kesempurnaan kasih sayang Allah adalah menimpakan berbagai cobaan kepada hamba-Nya, karena Dia Mahatahu apa yang terbaik baginya, lalu  Dia memberinya cobaan, mengujinya, dan mencegahnya dari berbagai hasrat dan keinginannya. Inilah salah satu bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba. Namun, karena ketidaktahuan dan kezaliman hamba, dia menyangka bahwa Rabb-Nya sedang memberikannya cobaan. Dia tidak mengetahui kebaikan yang ada di balik cobaan dan ujian dari-Nya. Inilah salah satu kesempurnaan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Hal itu sama sekali bukan karena kekikiran-Nya, mengapa? Karena Dia adalah Zat yang Maha Pemurah lagi Mahamulia yang memiliki segala kemurahan. Jika kepemurahan seluruh makhluk itu dibandingkan dengan kemurahan Allah, maka bagaikan sebutir zarah dibandingkan dengan sebuah pegunungan dan pasir dunia.
                  Di antara kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah Dia mengurangi dan menahan dunia dari manusia, agar mereka tidak cenderung dan gandrung kepada dunia, tetapi lebih menyukai kenikmatan abadi di sisi-Nya di dalam surga. Karena itu, Dia mendorong mereka kearah tersebut dengan memberikanya ujian dan cobaan. Maka Allah menahan rizki mereka guna memberikannya, mengujinya guna meraih kebaikan, dan mematikannya guna menghidupkan.”
                    Ibnu Qayyim juga menegaskan, “Allah memberikan nikmat kepada hamba-Nya dengan cara mengujinya, member rizki kepada hamba dengan cara menguranginya,  dan memberi kesehatan dengan memberi penyakit. Maka hendaknya seorang hamba tidak boleh mengeluh karena buruknya keadaan kecuali  jika keadaan itu membuatnya dimurkai Allah atau menjauhkan darinya dari Allah”.
                  Wahab bin Munabbih –rahimahullah- berkata, “Tidaklah seseorang itu dianggap memiliki kecerdasan yang sempurna sebelum dia menganggap cobaan sebagai nikmat dan kenyamanan sebagai musibah. Dikatakan demikian karena pemilik cobaan menantikan kelapangan dan penanti kelapangan pun menanti cobaan.”
                  Seorang ilmuan berkata, “Nikmat Allah yang disempitkan untukku adalah lebih baik daripada nikmat-Nya yang diluaskan bagiku. Hal itu karena Allah tidak rela untuk memberikan dunia kepada nabi-Nya. Maka, keberadaanku pada apa yang diridlai Allah untuk nabi-Nya adalah lebih aku sukai daripada berada pada keadaan yang tidak disukai Allah dan dibenci-Nya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar Anda dengan Daftar di Blog Kami