Penyakit Merupakan Nikmat dan
Anugrah
Melalui berbagai manfaat penyakit dan buahnya
yang telah dikemukakan di atas jelaslah bahwa penyakit yang tengah Anda derita
dan kepedihan yang kini Anda rasakan serta berbagai keletihan yang
menggelisahkan itu merupakan nikmat dan anugrah dari Allah Ta’ala sebagai
karunia dari Rabb Yang Maha Pemurah lagi Mahasuci bagi hamba-Nya yang fakir dan
membutuhkan. Di antara kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah Dia
memberikan ujian, sehingga dia memperoleh manfaat serta keuntungan yang tidak
dapat diraih kecuali dengan menjalankan
ujian tersebut. Kalaulah bukan karena itu, Allah Yang Mahakuasa tidak butuh
untuk mengazab hamba-Nya dan tidak perlu menyakiti hamba-Nya. Namun, hikmah dan
kasih sayang Allah kepada hamba menuntut hal itu. Bagi Allah-lah segala puji
yang banyak atas hikmah-Nya itu.
Karena penyakit atau cobaan itu merupakan
kenikmatan, maka orang-orang saleh terdahulu merasa gembira dengan penyakit
atau cobaan yang menimpanya seperti halnya kita merasa gembira dengan
mendapatkan kesejahteraan. Nabi saw, menceritakan ujian yang diberikan kepada
para nabi dan orang saleh, yang berupa penyakit, kemiskinan, dan sebagainya,
lalu beliau bersabda,
Adalah mereka itu
bergenbira karena mendapkan cobaan sebagaimana kalian bergembira ketika
mendapat kesejahteraan. [HR. Ibnu Majah]
Wahab bin
Munabbih –rahimahullah- berkata, Jika
orang-orang sebelum kalian ditimpa cobaan, mereka menganggapnya sebagai
kesejahteraan. Jika ditimpa kesejahteraan, mereka menganggapnya sebagai cobaan.
Seorang penyair berkata,
Betapa banyak
kenikmatan yang tidak dapat diremehkan dengan disyukuri Demi Allah, di balik
sesuatu yang dibenci itu terdapat kebaikan
Seorang yang bijak berkata, “Kedengkian atas
kesejahteraan orang lain akan membuahkan kecelakaan, belas kasihan kepada orang
yang sakit akan membuahkan kesembuhan, dan iri atas nikmat orang lain akan
membuahkan cobaan”.
Seorang ulama salaf berkata, “Wahai anak Adan,
nikmat Allah yang diberikan kepadamu yang menyangkut perkara yang kamu benci
adalah lebih besar daripada nikmat yang dianugrahkan-Nya kepadamu yang
menyangkut perkara yang kamu sukai”.
Ulama lain mengatakan, “Ridlalah
terhadap apapun yang dilakukan Allah kepadamu, karena tidaklah Dia menahan
sesuatu darimu kecuali Dia akan memberikan sesuatu kepadamu, tidaklah Dia
memberikan cobaan kepadamu melainkan untuk menghapus kesalahanmu, tidaklah Dia
memberikan penyakit kepadamu melainkan Dia akan menyembuhkanmu, dan tidaklah
Dia mematikanmu melainkan Dia akan menghidupkanmu. Berhati-hatilah jangan
sampai Anda tidak ridla kepada Allah meskipun sekejap mata, sehingga Anda
tercela dalam pandangan-Nya”.
Sufyan Sauri –rahimahullah- berkata, “Tidaklah
disebut ilmuan orang yang tidak menganggap ujian sebagai nikmat dan
kesejahteraan sebagai ujian”.
Segala urusan itu
terjadi menurut ketetapan Allah Di balik aneka peristiwa terdapat perkara yang
disukai dan yang dibenci Mungkin apa yang dahulu aku cemaskan, kini
menggembirakan dan apa yang dahulu aku dambakan, kini membawaku pada kejelekan.
Ibnu Qayim -rahimahullah- berkata,
“Kalau saja seorang hamba itu tau bahwa nikmat Allah itu terdapat pula pada
cobaan, tidak hanya pada kesejahteraan, niscaya dia memenuhi hati dan lidahnya
dengan bersyukur”.
Beliau juga mengatakan, “Rasa sakit,
kepedihan, dan kesulitan itu merupakan nikmat yang paling besar karena hal
tersebut merupakan penyebab datangnya nikmat. Maka kelezatan yang paling besar
adalah buah dan hasil dari aneka kepedihan.”
Sufyan Sauri -rahimahullah- berkata,
Penahanan Allah merupakan pemberian-Nya karena Dia menahan bukan karena kikir
atau tidak ada, tetapi Dia melihat apa yang terbaik bagi hamba-Nya yang Mukmin,
sehingga Dia menahan bagi kebaikan untuknya dan itulah yang terbaik baginya
menurut Allah”.
Setelah Ibnu Qayim -rahimahullah- menyuguhkan perkataan Sufyan Sauri, dia berkata,
“Demikianlah seperti dikatakan Sufyan,
sebab Allah Ta’ala tidak menentukan suatu ketetapan bagi hamba-Nya yang beriman
kecuali hal itu merupakan kebaikan baginya, baik ketetapan itu membuatnya sedih
atau gembira. Ketetapan Allah bagi hamba-Nya yang beriman merupakan anugrah
meskipun berbentuk penahanan dan merupakan kenikmatan meskipun berbentuk ujian.
Cobaan-Nya merupakan kebaikan meskipun berbentuk malapetaka. Namun, karena
kebodohan hamba dan kezalimannya, dia tidak menganggap anugerah, nikmat, dan
kebaikan kecuali apa yang dirasakannya enak pada saat ini dan hal itu sesuai
dengan tabi’atnya.
Kalaulah seorang hamba diberi ilmu yang luas,
niscaya dia menganggap penahanan sebagai nikmat dan cobaan sebagai rahmat;
niscaya dia merasa lebih nyaman dengan cobaan daripada dengan kesejahteraan;
niscaya dia merasa lebih nyaman dengan kemiskinan daripada kekayaan; niscaya
dia lebih banyak bersyukur ketika kondisinya berkekurangan daripada ketika dia
berlebihan. Seperti itulah perilaku para ulama salaf. Orang yang berilmu lagi
ridla adalah orang yang menganggap cobaan sebagai kesejahteraan, penahan
sebagai kenikmatan, dan kemiskinan sebagai kekayaan. Orang yang ridla adalah
orang yang menganggap bahwa nikmat Allah yang berkenan dengan apa yang
dibencinya itu lebih banyak dan lebih besar daripada nikmat Allah yang terdapat
pada sesuatu yang disukainya.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, berkata, “Tidak ada
kontradiksi antara suatu keadaan yang dianggap sebagai cobaan dilihat dari satu
sisi, , tapi dianggap sebagai nikmat dari sisi yang lain. Kalau dilihat dari
keadaannya yang menimbulkan sakit, hal itu disebut musibah, tetapi jika dilihat
dari keberadaannya sebagai bentuk kasih saying, hal itu disebut nikmat. Hal ini
seperti halnya orang sakit yang meminum obat yang tidak disukainya. Dia
menganggapnya sebagai musibah karena obatnya pahit, tapi dianggap sebuah nikmat
karena bisa menyembuhkan penyakit yang membahayakannya. Maka keburukan yang
lebih ringan itulah nikmat yang paling besar.”
Pada kesempatan lain, Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Jika apa saja yang menimpa manusia membuat gembira itulah nikmat
yang sesungguhnya, tapi jika membuat sedih, itu pun disebut nikmat karena bisa
menghapus kesalahannya serta membuahkan pahala karena kesabarannya dan karena hal
tersebut mengandung hikmah dan rahmat yang tidak diketahuinya. Allah Ta’ala
berfirman, Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui [QS. Al-Baqarah,2:216].
Demi Allah, Allah
tidak menentukan suatu ketetapan untuk seorang Mukmin kecuali hal itu baik
baginya. Jika ditimpa kelapangan, dia bersyukur, itu merupakan kebaikan
baginya, tapi jika ditimpa kesempitan, lalu dia sabar, itupun merupakan
kebaikan baginya. [HR. Muslim].
Ibnu Qayim –rahimahullah-
berkata, “Diantara kesempurnaan kasih sayang Allah adalah menimpakan
berbagai cobaan kepada hamba-Nya, karena Dia Mahatahu apa yang terbaik baginya,
lalu Dia memberinya cobaan, mengujinya,
dan mencegahnya dari berbagai hasrat dan keinginannya. Inilah salah satu bentuk
kasih sayang-Nya kepada hamba. Namun, karena ketidaktahuan dan kezaliman hamba,
dia menyangka bahwa Rabb-Nya sedang memberikannya cobaan. Dia tidak mengetahui
kebaikan yang ada di balik cobaan dan ujian dari-Nya. Inilah salah satu
kesempurnaan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Hal itu sama sekali bukan
karena kekikiran-Nya, mengapa? Karena Dia adalah Zat yang Maha Pemurah lagi
Mahamulia yang memiliki segala kemurahan. Jika kepemurahan seluruh makhluk itu
dibandingkan dengan kemurahan Allah, maka bagaikan sebutir zarah dibandingkan
dengan sebuah pegunungan dan pasir dunia.
Di
antara kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah Dia mengurangi dan menahan
dunia dari manusia, agar mereka tidak cenderung dan gandrung kepada dunia,
tetapi lebih menyukai kenikmatan abadi di sisi-Nya di dalam surga. Karena itu,
Dia mendorong mereka kearah tersebut dengan memberikanya ujian dan cobaan. Maka
Allah menahan rizki mereka guna memberikannya, mengujinya guna meraih kebaikan,
dan mematikannya guna menghidupkan.”
Ibnu
Qayyim juga menegaskan, “Allah memberikan nikmat kepada hamba-Nya dengan cara
mengujinya, member rizki kepada hamba dengan cara menguranginya, dan memberi kesehatan dengan memberi
penyakit. Maka hendaknya seorang hamba tidak boleh mengeluh karena buruknya
keadaan kecuali jika keadaan itu
membuatnya dimurkai Allah atau menjauhkan darinya dari Allah”.
Wahab bin Munabbih –rahimahullah- berkata,
“Tidaklah seseorang itu dianggap memiliki kecerdasan yang sempurna sebelum dia
menganggap cobaan sebagai nikmat dan kenyamanan sebagai musibah. Dikatakan
demikian karena pemilik cobaan menantikan kelapangan dan penanti kelapangan pun
menanti cobaan.”
Seorang ilmuan berkata, “Nikmat Allah yang disempitkan untukku adalah
lebih baik daripada nikmat-Nya yang diluaskan bagiku. Hal itu karena Allah
tidak rela untuk memberikan dunia kepada nabi-Nya. Maka, keberadaanku pada apa
yang diridlai Allah untuk nabi-Nya adalah lebih aku sukai daripada berada pada
keadaan yang tidak disukai Allah dan dibenci-Nya.”